Mama pintar
memasak. Misalnya telur mata sapi, telur dadar, telur campur sosis.
Tentu ada yang lain, tapi masih dari telur juga. Selain masakan itu,
sebaiknya jangan berani mencoba. Hihihi… Untunglah Mbak Desy, yang
bekerja di rumah mereka, pintar memasak. Jadi, Li-El tidak perlu
khawatir hanya makan telur seumur hidup.
Akan tetapi, sepertinya ada yang berubah sekarang.
“Mama akan kursus
memasak. Mulai Sabtu ini,” ujar Mama ceria suatu pagi. Rupanya Mama
bosan juga cuma bisa memasak telur.Sekitar setahun lalu, Mama pernah
belajar memasak. Li-El sebal setiap mencicipi masakan Mama. Selalu tidak
enak. Untunglah, Mama berhenti setelah tiga kali. Li-El hanya berharap,
Mama cepat bosan seperti dulu.
Rupanya Li-El keliru. Setelah empat minggu, Mama tetap rajin. Ah, Li-El jadi malu sendiri. Seharusnya dia mendukung Mama.
Hei, Li-El jadi
tahu hadiah yang tepat untuk ultah Mama hari Minggu depan. Li-El akan
membeli celemek polos, lalu menghiasinya dengan wajah tersenyum. Pasti
cantik, deh!
Membuat rencana
memang mudah. Kenyataannya, sampai Sabtu belum satu bagian wajah pun
tertempel. Padahal, Li-El akan menginap di rumah Petra.
Tidak enak kalau
Li-El batal mengikutinya. Acara ini sudah direncanakan sejak lama. Tapi,
bukan Li-El kalau tidak punya rencana mengatasinya. Dia bahkan
menyiapkan senter. Ha, untuk apa, ya?
Biarpun cemas memikirkan celemeknya, Li-El menikmati acara di rumah Petra.
Mereka makan rujak di kebun. Malamnya, bermain kartu UNO. Seru sekali!
Sekali ini, mereka diizinkan tidur pukul dua belas malam.
Setelah yakin teman-temannya tidur, Li-El mengeluarkan tas kainnya. Dia mengendap-ngendap ke ruang baca Petra. Mungkin memang kurang sopan berkeliaran pukul setengah satu seperti itu. Tapi… apa boleh buat!
Li-El tak berani
menyalakan lampu. Dengan diterangi cahaya senter, Li-El mengeluarkan
celemeknya. Juga kain flanel warna-warni. Diguntingnya kain merah, untuk
bagian bibir.
Satu jam kemudian,
Li-El kecewa memandang hasil kerjanya. Bibir itu terlihat miring.
Jahitannya tidak rapi. Tapi, tidak ada waktu untuk memperbaikinya.
“Tidur lima menit dulu, ah!” pikir Li-El, berbaring di karpet tebal.
Beberapa saat kemudian, Li-El terbangun. Hei, hari tidak lagi malam, melainkan pagi. Rupanya Li-El tidak tidur lima menit, tapi semalaman. Ada lagi yang membuatnya bingung. Teman-temannya juga tidur di ruang baca itu.
Li-El meraih celemeknya. Dia terpana. Semua bagian wajah sudah terpasang lengkap di celemeknya.
“Aduh, semalam aku tidak sadar warna matanya beda,” ujar Petra, merasa bersalah. Memang, satu mata berwarna biru, yang lain abu-abu.
Benar, celemek
Li-El sudah selesai. Hanya saja, berantakan sekali. Keempat teman Li-El
yang baru bangun memandanginya sambil meringis.
“Hidungnya juga jelek,” sambung Princess menyesal. “Maaf, deh.”
Rupanya semalam Princess sadar Li-El tidak ada di kamar. Saat menemukan Li-El tertidur di ruang baca Petra,
dia memberitahu anak lain. Mereka bergantian melanjutkan menghias
celemek itu. Tidak lupa menyelimuti Li-El. Tapi rupanya mereka
ikut-ikutan tertidur di sana juga.
Li-El kembali
memandang hasil karya mereka berlima itu. Benar-benar wajah yang sangat
jelek. Bibir miring, hidung jelek, rambut jabrik mengerikan, alis
seperti ulat, dan mata besar sebelah. Belum lagi jahitannya tidak rapi.
“Trims,” ucap Li-El, terharu. “Ini wajah paling cantik yang pernah aku lihat.”
Kata-kata Li-El membuat mereka berlima tertawa geli, tak henti-henti.
Memang bukan
celemek seperti ini yang dibayangkan Li-El minggu lalu. Tapi
teman-temannya rela terkantuk-kantuk menyelesaikan celemek itu. Setiap
bagian wajah celemek itu seperti mewakili rasa sayang teman-temannya
untuk Li-El. Untuk Mama.
Dalam celemek itu
juga ada begitu banyak persahabatan. Bahkan bisa menyulap Tira dan Dania
yang biasanya saling ledek menjadi kompak. Hal itu yang membuat celemek
itu terlihat begitu cantik.
Siangnya, saatnya memberikan celemek itu untuk Mama. Tentu saja teman-teman Li-El tidak ketinggalan.
“Terima kasih,” ujar Mama, sangat terharu. “Cantik sekali.”
Tanpa Li-El
bercerita, sepertinya Mama bisa menduga kalau celemek itu dibuat
beramai-ramai. Jahitannya saja terlihat berbeda-beda. Akan tetapi, Li-El
tidak sempat ikut terharu. Wajahnya berubah ngeri saat teman-temannya
mulai mencicipi makanan yang khusus dimasak Mama.
“Nah, bagaimana?” tanya Mama penuh harap.
“En… En…ak, Tante,” jawab teman-teman Li-El, tergagap.
“Wah, Tante memang hebat,” ujar Mama, memuji diri sendiri.
Teman-teman Li-El
meringis. Li-El tahu perasaan mereka. Pasti setengah geli, setengah
jengkel. Mana tega mereka bilang kalau masakan Mama membuat mereka ingin
pingsan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar